Recents in Beach

Cerpen : Jika Saat Itu Tiba



Han memacu sepeda motornya dengan penuh penyesalan menjauhi Ria yang sudah sampai di rumah temannya. Tadi Han datang ke rumah kos untuk menemui Indri teman satu kos Ria. Namun begitu melihat Ria muncul dari balik gerbang Han tak bisa lagi menahan rindunya pada Ria.

"Kenapa saat ku sapa Ria nampaknya kaku? Ah Ria, tak bisakah kita seperti dulu?"

Namun sepanjang perjalanan Ham, hanya menyesal bahwa ia sudah salah langkah. Lagi-lagi aku ternyata tak bisa lepas darinya. Sebenarnya obat terbaik bagi rinduku adalah tidak menemuinya, pahit memang, tapi demi kesehatan jiwaku. Mungkin senyum manis Indri saat menyambutku menjadi penawarnya.

Han menonton televisi, sementara Indri meminjam laptopnya untuk mengerjakan tugasnya. Mereka hanya berdua di ruang tamu rumah kos Indri, juga rumah kos Ria. Di mana batas seorang tamu laki-laki diperbolehkan masuk memang hanya di ruang tamu itu. Sebuah televisi menggantung di sudut ruangan, menemani para tamu yang menunggu penghuni kos keluar. Sementara itu Indri bersimpuh di lantai, sibuk melihat isi laptop milik Han yang ditaruh di meja ruang tamu. "Fotomu banyak, sering ikut kegiatan, ya? Hmm narsis juga," gumam Indri lirih tanpa memalingkan pandanganya dari layar laptop.

"Hmm... Ya!" jawab Han singkat.

Indri terus membuka laptop sambil tertawa, sementara Han hanya tersenyum tak peduli dengan apa yang di tertawakan oleh Indri.

"Wah... Kamu dekat banget sama Ria, rupanya?" celetuk Indri tiba-tiba.

Han hanya membisu. Ia lupa bahwa setiap kegiatanya pasti ada Ria. Seandainya tidakpun ada foto-foto Ria yang sengaja ia ambil ketika melihat Ria dari jauh. Di ponsel Han, foto-foto Ria memang sudah dihapus, tapi ia lupa ada sebagian dipidah ke laptop.

"Dia, hanya teman," jawab Han datar, kali ini pandanganya dialihkan pada Indri.

"Ouuwh. Habis di mana-mana ada foto Ria," kata Indri tak kalah pelan.

Han kemudian turun dari kursi ikut duduk di belakang Indri. Tangan Han bergerak akan menyentuh mouse yang sedang dipegang Indri, lalu tangan mereka beradu, dagu Han berada di pundak Indri.

"Nggak boleh?" tanya Han lembut.

"Ah... Nggak apa-apa," jawab Indri salah tingkah.

"Harusnya, memang nggak apa-apa," kata Han kemudian sambil mengecup pipi Indri lembut.

Wajah Indri memerah, mungkin juga ia sedang sibuk menenangkan detak jantungnya, sementara dengan sigap Han memilih menu shut down, layar laptop pun menghitam.

"Kenapa dimatikan?" tanya Indri dengan muka sedih.

"Sudahlah," jawab Han Sambil menarik tubuh Indri ke sofa.

Sementara Ria pun menyesali yang sudah terjadi "Seandainya waktu bisa diputar aku akan memilih menghilangkan satu detik dalam hidupku. Sebab pada detik berikutnya, aku harus melihat saat aku melewati ruang tamu Ham mengecup pipi Indri. Bukan aku!"

Ria berdiri mematung di balik pintu ruang tamu, ia menahan nafas supaya Han dan Indri tidak melihatnya. Hampir saja berkilah bahwa Han sengaja datang ke kos untuk bertemu degan Indri. Namun dengan cepat menghubungkan kedatangan Han pasti ada hubungan dengannya.  "Hmm, pasti Indri sudah menebak bahwa Han suka padanya," ada nada cemburu dalam gumam Ria.

Masih dengan nada sedih Indri bertanya, "Inikah sebabnya kenapa tempo hari kamu mengantar Ria? Aku bingung Han. Apakah memang sudah sifatmu baik pada semua wanita? Tapi, aku berusaha mempercayaimu, sampai aku melihat kamu masih saja menyimpan foto-foto Ria di laptopmu?"

Dibalik persembunyiannya Ria membelalakkan mata, "Ouuwh... Han menggambil fotoku diam-diam."

"Lantas karena itu kamu mau mengalihkan perhatianku dari Ria, kamu cium aku?" suara Indri pedih. Dan butiran air mata mengalir di pipinya.

"Aku bisa merasakan kesedihannya," gumam hati Ria masih belum mau beranjak dari persembunyiannya.

"Buat apa, kamu lakukan ini, Han? Jika ini hanya kamu buat untuk pelampiasan, aku tak butuh itu. Kamu menciumku bukan karena kamu sayang aku, bukan? Tapi kamu sayang Ria," isak Indri kini semakin keras terdengar.

Ria memandang Han yang masih saja berdiri tegak. Dengan mata hatinya ia memohon. "Katakan semua ini bohong, Han."

Lalu terdengar Han yang sedari tadi hanya membisu kini angkat bicara, "Indri... Maafkan aku. Aku melalukanya hanya karena tak ingin kamu membenci Ria karena ketidak ketegasanku."

Ria sempat kaget dengan pernyataan Han, kemudian kembali ia memutar memorinya. "Dulu… Katanya suka sama Indri. Ah tidak. Ia tak pernah mengatakannya, hanya titip salam saja," Ria berdebat dengan hatinya sendiri.

Dengan kedua tangannya Indri menutupi wajahnya, "Sudah kuduga, Han! Kenapa kamu buat aku jatuh cinta padamu. Sementara kamu hanya berpura-pura mencintaiku!" kata Indri setengah berteriak di antara isak tangisnya.

Han berusaha memeluk bahunya. Tapi Indri menepis serta lari menjauh. "Inndrri... Bukan maksudku." kata Han tersendat.

"Aku sudah berusaha, namun sulit untuk tidak menunjukkan perasaanku yang sebenarnya ke Ria," lanjutnya.

Ria kembali tertegun sedang Indri tidak berkata apa-apa lagi hanya berbalik dan pergi.

Akhirnya Ria tak bisa menahan diri serta keluar dari tempatnya menghampiri Han. "Jelaskan semuanya, Han? Kamu sudah membuatku kehilangan sahabat!" teriaknya, tak peduli ada wajah-wajah teman kos lain yang mulai mengintip dari jendela ruang tamu.

Han hanya menatap wajah Ria bergantian ke wajah teman-temannya, lalu mengeluarkan kunci motornya, serta bergerak mendekati Ria. "Aku akan jelaskan, tapi tidak di sini." sambil tangannya menggengam lembut tangan Ria dan membimbingnya ke motor. Han melarikan motornya ke arah pantai, Ria tak mau memeluk pinggang Han.

***


Suasana pantai saat itu hanya terdengar gemuruh ombak namun berirama. Matahari di sebelah barat memancarkan sinarnya yang lembut. Ya, sinar penghabisan sebelum ia sendiri akan tenggelam bertukar tempat dengan rembulan. Namun menurut hati kecil Ria yang paling indah dari semua itu tentu saja Handoko atau yang sering di panggil Han. Lehernya yang jenjang tertutup kerah kaosnya yang naik sedikit. Matanya menatap Ria dengan ceria meski yang tampak ia hanya diam. Ria berulang kali menbuang pandang ke laut lepas karena tak kuat lagi menerima tatapan Han.

"Hmmm, sampai juga akhirnya," Han berkata sambil mendekati Ria.

Han duduk, badannya dicondongkan ke depan, dan kedua sikunya bertumpuk pada kedua lututnya.

"Sampai apa, Han?" tanya Ria ingin tahu.

"Sampai kamu tahu, siapa yang sebenarnya ada dalam hatiku," jawab Han.

Matanya terus memandang lurus ke depan. Lalu Han melanjutkan kata-katanya. "Kamu hebat, meski aku sudah berusaha melupakanmu, tapi kamu... Ah, makin berusaha, makin terjerat dalam pesonamu."

"Upss." Lagi-lagi Ria hanya terdiam sambil neredam detak jantungnya.

"Sampai aku harus selalu ingatkan diri terus menerus, aku harus hentikan semua ketertarikan ini, sebelum seseorang terluka. Entah aku, kamu atau Indri." Han kini menunduk tapi kecemasan luar biasa sedang ia sembunyikan.

"Menghentikan? Kenapa?" Ria menyela.

"Alasan klise, Ria dan aku belum menemukan jalan keluarnya tentang kepercayaan kita yang berbeda." sambung Han dengan nada tegas.

Mata Ria mengerjap. "Hanya itu saja? Entah bagaimana kamu memandang masalah keyakinan, Han, tapi aku menganggap, biarlah semua kembali pada pilihannya masing-masing. Kalau aku yang terkena kasus itu." sejenak Ria mengambil jeda dan menyamarkan harapanya, lalu melanjutkan kata-katanya. "Aku tak akan mempermasalahkannya It’s not a big deal, Han," Ria menyelesaikan kalimatnya dengan senyum.

Wajah Han yang bersih terlihat semakin segar dan memandang Ria sambil tersenyum ketika mendengar Ria mengucapkan kata-kata tadi. "Ya, saat aku makin jatuh cinta padamu, mungkin hanya ketakutanku saja. sementara aku tahu kisah kita ini tak akan ada ujungnya. Lalu di mana tanggungjawabku telah menarikmu dalam pusaran pelik ini."

"Jangan takut, Han," Ria segera menyela.

"Emmh, aku sangat lega, Ri." akhirnya Handoko mengatakan itu sambil tertawa diikuti tatapan heran Ria.

Ya, setelah mengungkapkan aku sayang padamu, aku merasa lega. Ternyata kalau perasaan disimpan-simpan, ditutup-tutupi, jadinya kacau begini. Aku sayang kamu Ria, dan aku yang harus berusaha mengendalikannya, aku merasa lebih tenang sekarang." kata Han sambil mengusap lembut rambut Ria.

"Aku yang nggak tenang, Han." sanggah Ria cepat, namun Han menanggapi kalimat Ria itu dengan menyentil mesra hidungnya.

"Aku akan minta maaf pada Indri, karena tak pernah bisa tumbuhkan rasa untuknya tapi hanya membuatnya menjadi pengalih perhatian. Lalu, aku akan pindah kuliah ke luar kota," ucapan Han penuh dengan keseriusan.

"Eh, segitunya? Tuh kan bener sekarang perasaanku yang jadi kalang kabut," sahut Ria cepat.

"Ini harus, Ria, demi kebaikan kamu dan aku."

"Ooh! Han... Apa ada yang bisa goyahkan niatmu?"

Han tidak menjawab pertanyaan Ria tapi justru mengandeng lengannya dan mengajaknya pulang. "Ayo, kuantar pulang sebentar lagi hari gelap."

Ria merasa kakinya bagai melayang, tak menjejak tanah. Otaknyapun masih berusaha mencerna apa yang harus dilakukan dan dikatakan sementara langkah mereka sudah mendekati tempat parkir.

"Han, apa kamu tak ingin tahu perasaanku padamu?" ragu Ria menanyakan itu.

Han menghentikan langkahnya. Ia berpaling, dan bibirnya mendarat lembut di kening Ria. "Aku sudah tahu!" katanya sambil tersenyum kemudian ia membiarkan Ria mematung.

***


Pagi itu Handoko memasukkan baju terakhir ke dalam tas ranselnya. Sejenak dia menatap kamarnya yang mulai kosong. Yanuar, kakaknya besok akan mengantarnya ke Stasiun.

Dia rebahkan tubuhnya dengan berbantal kedua tangannya. Bayangan papa, mama, juga semua saudaranya yang sangat kental memeluk Kristiani. Lalu dia putar pada Ria dan keluarganya yang Muslim. "Aku sudah menyelesaikan masalahku dalam beberapa minggu ini, dan aku sadari Ria lah yang terbaik untukku. Ria, mungkin dalam kondisi berbeda, suatu saat kita akan bertemu. Aku yakin kamu akan tetap sama mempesonanya dan jika saat itu tiba, aku berjanji akan lebih siap menghadapimu."


Penulis: Lisa Nel.

Posting Komentar

10 Komentar

  1. Hmmm tentang cinta beda aqidah ya. Memang agak susah sih, untuk dapat happy endingnya.

    Terus gimana antara Han dan Ria ya?

    BalasHapus
  2. Semoga harapan Handoko kesampaian
    cinta selalu ada cerita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyta, mbak, cinta tak ada habis untuk di ceritakan.

      Hapus
  3. Cinta yang rumit, tapi pasti ada jalan. Berbeda keyakinan bisa dikatakan mustahil untuk menyatu, tapi bila Tuhan berkehendak tidak ada satu mahluk pun bisa menghalangi.
    Selalu ada keajaiban yang tidak bisa kita ketahui.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, keajaiban pasti ada jika itu jodoh. hehe

      Hapus
  4. yaa!! repot yaa!! kalau beda keyakinan..kalau mau mempertahankannya berarti berani ambil resiko antara Hans & si Ria...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, resikonya dari ortu kedua belah pihak. hehe

      Hapus
  5. Didaerahku pernah ada kisah seperti ini.

    BalasHapus
  6. Cinta berbeda keyakinan memang agak susah.
    Tapi aku kok malah merasa kasihan sama Indri. Wkwkk

    BalasHapus