Recents in Beach

Cerbung : Bianglala Masa Lalu (bagian 3)

Bianglala Masa Lalu Bagian 3



Baca cerita sebelumnya; Bianglala Masa Lalu Bagian 2. Caffe itu terletak di lantai dua sebuah mall yang ramai dengan pengunjung. Lokasinya yang berada tepat bersebelahan dengan game centre membuat tamu yang duduk di sana seperti menjadi orang asing dalam kerumunan masa.

Setelah berdebat keras dengan bunda, Vita akhirnya diijinkan pergi asal Bowo menemaninya; "Aduh bunda, masa harus pakai bodyguard segala?" protes Vita.

"Mau berangkat atau tidak?" seru bunda, itu bisa diartikan ultimatum yang tak bisa dinegoisasi. Ayah dan Bowo yang berada di dekat mereka hanya saling pandang.

"Dan Bowo, kamu mesti temani kakakmu, nggak boleh jauh-jauh," sambung bunda.

Vita dan Bowo sudah duduk di caffe itu. Lama tak ada yang mengeluarkan suara. Vita sibuk dengan pikiranya sendiri, sedangkan Bowo berkali-kali memandang kakaknya tanpa bisa melakukan apapun.

"Rasanya baru 6 tahun saya nggak pulang, tapi perubahan kota kita ini begitu pesat." Vita mendahului bicara.

Ketika dilihatnya adiknya tidak bereaksi; "Hai. Kamu sariawan, Bowo? tanya Vita mengejut Bowo.

"Emmh, apakah kak Vita masih mencintai Ridwan?" tanya Bowo, yang membuat Vita hilang keseimibangan berpikir.

Kamu belum tahu, Bowo, bagaimana hancur perasaan ini, batin Vita, namun tak ada satu patahpun kalimat keluar dari bibirnya. Ketika Bowo akan melanjutkan bicaranya.

"Hai! Sudah lama menunggunya? Suara bariton yang sangat dikenal Vita tiba-tiba muncul dari arah belakang mereka.

Vita tersenyum, dalam sekali lihat dia langsung mengenali siapa yang menyapanya. Tubuh tinggi besar kulit kecoklatan mana mungkin ia melupakanya? Pria yang membuatnya mengalami pengalaman yang sebelumnya tak terbayangkan, pria yang mematahkan hatinya. yang berperan besar dalam merubah keputusan hidupnya.

"Hai..." Dengan lugas tanpa kesan berlebihan Vita membalas sapaan itu. Uluran tangan pria yang bernama Ridwan segera disambut Vita. Ah jabatan tangannya masih sama, kuat, hangat, dan tidak menyakiti.

Bowo pun bersalaman degan Ridwan lalu pamitan; "Kak, mas, aku mau main game dulu."

Lalu Vita dan Ridwan sejenak saling melempar gurauan akrab seperti melupakan sejarah yang sangat menyakitkan. Setelah bertanya Vita mau nambah minuman atau tidak, Ridwan kemudian memanggil seorang pelayan dan memesan secangkir cappuccino.

"Hei, kamu tidak alergi lagi sama kopi Vit?" Ridwan bertanya lagi, sebab dilihatnya cangkir Vita berisi kopi.

"Itu, kan, dulu," Vita tersenyum geli.

Ridwan mengangguk; "Meski sekarang kamu suka kopi, tapi kamu tak berubah." sambung Ridwan lembut. Melalui mata Vita, tatapan Ridwan menembus sampai ke hati. Lalu Vita tersipu, selanjutnya tertawa kecil, sebuah tawa pembenaran dan bukan tawa kemenangan.

Ridwan mendesah seperti ada perasaan segan menelusuri hatinya. Senyumnya berganti dengan kegalauan; "Vit! Kamu dulu bilang mau sering hubungi aku, tapi kenapa kamu nggak pernah menelpon?"

Vita hanya mengangkat bahu, lalu padangannya ia lemparkan pada cangkir kopi yang isinya tinggal setengah. "Emmh, kadang pikiran orang, kan berubah," suara Vita pelan.

“Ah... Kamu, mengejek aku,” Ridwan membalas getir.

“Tapi sepenuhnya aku mengerti. Aku juga tidak berniat mengganggu kehidupanmu, makanya aku selalu berusaha tidak hubungi kamu. Aku cuma bisa menunggu. Memangnya aku ini siapa 'kan?”

Vita diam. Enggan rasanya mengiyakan, tapi juga tidak berkata bukan. Sudah hampir 6 tahun mereka berhenti bertemu. Perasaan cinta bahkan benci yang menggunung sudah hangus tak bersisa di hati Vita. Bunda selalu menempa dirinya dengan kalimat, bahwa kita harus menyadari apa pun tak akan pernah menjadi milik seseorang, apalagi itu adalah jiwa orang lain, bukan benda. Bahkan jiwa kita pun bukan kita pemiliknya.

Lalu Vita meyakinkan diri dan pasrah semuanya pada Tuhan, bahwa sesakit apa pun segala sesuatu, justru akan membuatnya lebih kuat, asalkan tidak membunuh. Rasa sakit atas penghianatan Ridwan terlupakan sudah. Vita sebenarnya bukan seorang pendendam, dan memafaatkan Ridwan adalah hal yang mudah. Bahkan genggaman tangan Ridwan, sempat meruntuhkan keyakinan, dan janjinya selama ini, untuk tidak mau berbagi pria pada sahabatnya.

“Maafkan aku, ya?” Ridwan berkata lirih.

Vita tak sanggup menerima tatapan mata Ridwan yang mengisyaratkan kesungguhan. Untuk kesekian kali Vita hanya tersenyum. Bukan meremehkan untuk sebuah permintaan maaf yang terasa begitu terlambat itu, bukan juga senyuman sengit yang bertujuan menyakiti siapa pun, melainkan perasaan tulus yang terukir, seperti ketika seseorang merelakan orang yang dicintai untuk bersama orang lain yang bisa membahagiakannya.

"Kamu berlebihan, aku sudah memaafkanmu," jawab Vita mantap sambil menyingkirkan tangan Ridwan dari tangannya. Ridwan mengerti benar kedudukanya sekarang, sehingga ia mengambil tangannya tanpa rasa berat.

"Makasih, Vit.” Bisiknya, dalam suara rendah. Sebagai sesama manusia dewasa, mereka sama-sama berusaha melupakan elegi masa lalu. Kemudian Vita pun meminta ijin untuk pulang karena hari sudah pun sore.

Sesampai di rumah Bowo bertanya berbagai pertanyaan pada bunda "Apakah bunda tidak menceritakan keadaan Yuni?"

"Untuk apa?" jawab bunda ketus. "Bunda tidak mau Vita jatuh dalam pelukan pria itu lagi."

"Tapi bunda?" Sela Bowo.

Yang kemudian di sela bunda; "Ah, sudah-sudah, pria itu sudah menerima balasanya."

"Ridwan, bunda?" Bowo menekankan, karena begitu bencinya bunda pada pria yang sudah menghianati kakaknya sehingga menyebut namanya pun bunda tidak sudi.

"Bunda menyuruh kakakmu pulang memang ingin melihatnya bersanding dengan suami, tapi bukan dengan si pecundang itu."

Bowo hanya bisa menggelengkan kepala, lalu masuk ke kamarnya.

Malam pun tiba, bunda dan ayah sedang menghadiri undangan teman ayah yang menikahkan putranya. Sehingga Bowo menemukan waktu yang tepat untuk berbicara pada kakaknya.

"Kenapa kalian begitu kejam? Sehingga untuk mengabarkan hal penting ini kalian sekongkol tutup mulut?" teriak Vita, sambil mengguncang-guncang pundak adiknya. Air matanya bersimbah di wajahnya tak terbendung lagi. Bowo mengabarkan bahwa Yuni meninggal dunia satu tahun lalu karena kanker rahim.

"Bunda melarang kami, kak," jawab Bowo pendek karena kehabisan akal.

"Haah, aku semakin bingung apa sebenarnya yang bunda mau."

"Sudah lah kak, setidaknya aku dan ayah ada di pihak kakak." kalimat Bowo ini mampu menenangkan Vita untuk berhenti histeris. Bowo pun memeluk kakaknya penuh rasa kasih sayang yang mendalam.

Bersambung...

Posting Komentar

8 Komentar

  1. Mungkin kalau 'masa' yang berarti banyak orang, harusnya 'massa' kali mbak. Kalau 'masa' itu lebih menunjukkan ke waktu atau kejadian lampau. Bener nggak sih? *hehe maaf mbak sotoy banget.

    BalasHapus
  2. Vita gadis yang pernah ada dalam kehidupan Ridwan
    Yuni sudah tiada
    Ok, kurasa ini hanya masalah waktu saja, adik dan ayah ada di pihak Vita

    seperti hr lalu, CLBK
    haha

    BalasHapus
  3. Hmmmm... Rupanya si Ibu begitu turut merasakan sakit atas penghianatan Ridwan terhadap Vita.
    Tapi,.....
    Ah sudah lah... Jodoh itu memang sudah ada yg mengatur. Hehe

    BalasHapus
  4. Vita mana nih, jangan2 admin Alvitayani Online shop hehe! Btw Wani-waninya Bowo ikut campur, kalau saya mah kayak gitu langsung di omelin kakak, hehe!

    BalasHapus
  5. Kenapa ridwan tidak mengungkapkan 6 tahun yang lalu, sayang waktu terbuang sia-sia..

    BalasHapus
  6. eh kok dikit lupa ya cerita bagian pertama dan cerita bagian kedua, bolak-balik lagi .. baca-baca lagi:D

    BalasHapus
  7. نقل فؤادك حيث شئت من الهوى # ما الحب الا للحبيب الاول
    كم منزل في الارض يعشقه الفتى # وحنينه ابدا لاول منزل.
    .
    Silahkan pindah2kan hatimu pada siapapun yang engkau mau, tetapi cnta sejatimu tetaplah cnta pertama. Karena cinta itu ibarat tempat tinggal, walaupun telah banyak tempat2 indah di muka bumi yang di tempati seorang pemuda, ttapi hatinya akan selalu rindu pada kampung halaman pertamanay.
    #syair arab, cinta pertama memang sulit terlupa

    BalasHapus
  8. Asyik juga nyimak ceritanya sambil ngopi ☕
    Kita tunggu bagian selanjutnya. 😀

    BalasHapus