Recents in Beach

Cerbung: Rampas


Rampas - Cerbung Kolaborasi
Penulis Oleh: Adipati Loka & Lisa Nel

Yang paling larut hanyalah malam dan Arimbi yang masih tercenung di ruang tamu itu. Ia curiga pada malam yang sepertinya rapat merahasiakan sesuatu darinya. Ia tak tahu persis selain hanya merasakan bau tidak sedap itu mulai menghambur ke wajah sendunya.

Berkali-kali ia melihat jam. Setiap ia berpaling ke arah pintu, detak jarumnya tak berhenti menertawakannya. Jengah. Ia sangat ingin ada seseorang mengetuk pintu dan menyelamatkannya.

'Aku pulang, sayang'
Ia menunggu suara itu. Tidak ! Jangan Arimbi. Suara itu telah membeku. Atau memang sudah tak pantas dan menjijikkan untuk kau dengar dari mulut orang itu.

Pintu. Dan sunyi yang terkunci.

Disandarkan kepalanya di sofa dengan angan yang melesat jauh menembus ruang. Menembus musim dan cuaca. Menyatukan serpih kalender yang kandas itu kembali. Menemukan dirinya ketika masih menjadi bunga yang selalu dijaga utuh dari luluh dan lantak. Tentu oleh seseorang yang kini kerap disembunyikan malam di luar sana. Seseorang yang kini telah memaksanya jadi petarung yang senantiasa tumbang. Anehnya, ia masih bertahan merangkak menyusuri keresahannya sendiri.

Darma, begitu seseorang itu dikenalnya kemudian. Di sebuah mall elite. Waktu itu Arimbi bekerja di salah satu toko kue yang ada di sana. Sementara Darma adalah anak dari salah satu pelanggan setia di mana Arimbi bekerja. Mulanya Darma hanya datang ketika hendak mengambil pesanan. Lama kelamaan Darma lebih kerap bertandang sekedar melihat-lihat.

Dari situlah Arimbi dan Darma mulai banyak terlibat obrolan. Basa-basi soal pekerjaan. Gurau soal hobi. Sampai akhirnya Arimbi tak dapat menolak ketika Darma meminta nomor kontaknya. Bahkan ia hanya bisa mengiyakan ketika Darma mengajaknya bertemu diluar.

Di mata Arimbi, Darma pemuda yang baik dan peduli. Ia adalah oase baginya kala letih dahaga melanda jiwanya yang  gersang. Hampir disetiap akhir pekan, Darma selalu mengajaknya menghabiskan waktu libur berdua. Soal kemana, biasanya Darma yang sering menawari Arimbi, meski Arimbi lebih banyak pasrah. Menikmati batas senja, menikmati purnama, ataupun sekedar melanglang kota. Sampai pada akhirnya Arimbi mulai merasakan sesuatu mengaliri jiwanya. Sesuatu yang membuat benih-benih asmaranya bertetumbuh.

"Kamu cantik sekali. Siapa namamu?" goda Darma memandang lekat ke wajah Arimbi pada suatu malam yang beku.

“Kamu sendiri siapa?" balas Arimbi cemberut, “Anak nakal nggak boleh mendekat, ya…" seraya menjulurkan lidah.

Darma segera meraih tangan Arimbi ketika gadis itu hendak berbalik badan, “Hei...kenapa cemberut?" tanya Darma.

“Aku nggak apa-apa. Khawatir, ya?" sanggah Arimbi senyum penuh kemenangan.
“Arimbi?"
“Mmm..."
“Aku sayang kamu. Dan...aku ingin segera menyuntingmu." ucap Darma sambil mengusap lembut rambut Arimbi, “Kamu mengerti 'kan, sayang?"

Arimbi hanya terdiam. Ia lebih memilih menenggelamkan kepalanya di dada Darma, pria yang sebenarnya juga sangat dicintainya.

"Kreek."

Derit pintu yang terbuka memecah lamunan. Arimbi beranjak mengampiri siapa yang datang. Dingin. Ia sama sekali tak mempedulikan sambutan Arimbi. Ia malah berlalu begitu saja menuju kamar tidur dengan diikuti Arimbi. Tanpa melepas baju kerjanya ia terus menghempaskan diri di tempat tidur.

"Mas Darma, sudah makan?" sapa Arimbi pelan. Ragu dengan getaran suaranya sendiri.

Darma seakan tak mendengar kalimat yang diucapkan Arimbi. Melihat hal itu Arimbi hanya diam merebahkan badannya di samping suami. Lama mereka saling membisu. Arimbi merasa gagal menemukam apa kata yang  tepat untuk mulai bicara. Tanpa sadar, pedih yang ia rasakan membuat bulir airmatanya menetes.

Sekuat tenaga ia menyembunyikan tangisnya. Ia tak mau Darma melihatnya menangis. Tapi pedih itu...perih itu. Ah, Arimbi tak bisa menahan isak tangisnya. Sementara Darma yang menyadari Arimbi sedang menangis, bangkit dari tempat tidur. Meninggalkan Arimbi yang masih sesenggukan.

Arimbi yang tahu Darma keluar kamar, membekap wajahnya dengan bantal. Setidaknya ia bisa menjeritkan tangisnya.

Arimbi...Arimbi. Kini benih cinta itu tumbuh menjelma sulur-sulur yang sepanjang batangnya dipenuhi duri keras dan tajam. Perihnya menghambat setiap pergerakan dan kerap membangunkannya ditengah lelap. Cinta, diam-diam telah membumbungkan asap yang perlahan mulai sesak di dalam dadanya.  Ia ingin bicara, tapi lidah lebih sering menyekap bahasa. Ia ingin meronta, tapi angan dan harapannya selalu lebih kuasa menahan.

“Ada esok untuk lebih baik, Arimbi" gumamnya menyeka airmata. Ia mencoba bangkit dan melihat bayangan dirinya yang lamur di cermin.

“Ini sementara, bukan?" ia masih mencoba menenangkan diri.

Darma merebahkan badan di sofa dengan kedua mata terpejam. Mencari bekas cium yang masih terasa hangat. Aroma perempuan itu masih manjing di hidungnya dalam beberapa lama. Sebelum akhirnya lamat-lamat bisik perempuan itu mengantar tidurnya.

***

Mentari pagi malu-malu menampakkan dirinya. Darma membuka matanya. Silau oleh pancaran sinar matahari yang masuk lewat celah jendela yang terbuka gordennya. Agak malas ia membuka matanya walau pada akhirnya bangkit untuk membersihkan diri. Selepas mandi Darma berganti pakaian. Pandangnya jelajah ke seluruh ruangan. Kamar sunyi seakan tak berpenghuni lagi. Dua bantal dan guling tersusun rapi di atas tempat tidur. "Tak biasanya sepagi ini kamar sudah dibersihkan." gumamnya.

"Ah, masa bodoh." lanjutnya berpaling meninggalkan kamar.

Arimbi tentu saja telah sampai di rumah orang tuanya. Agak lama ia hanya mematung di teras. Pintu baru terbuka ketika pada akhirnya ia memutuskan mengetuk pintu dengan ragu. "Selamat pagi, Ayah, Ibu." sapa Arimbi mencium tangan ayah dan ibunya bergantian.

"Arimbi. Tumben datang sepagi ini?" ucap ayah dan ibu bersamaan, “Ayo masuk. Kebetulan kami lagi sarapan."

Di ruang makan, Arimbi menatap kedua orang tuanya silih berganti. “Lho, kok, cuma diam. Ayo makan, sayang," ajak ayah pada Arimbi, “ Oh, iya. Tadi sudah pamit sama Darma 'kan?"

Arimbi mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Tidak ada yang menyita perhatiannya di luar sana. Ia hanya tak ingin orang-tuanya melihat kerlip kecil bening itu menyeruak dari kelopak matanya, “Arimbi makan nanti saja, Ayah," katanya kemudian.

Ayah dan ibu hanya mengangguk dan melanjutkan menyantap sarapan.

“Ayah, Ibu, boleh Arimbi menginap beberapa hari di sini?" suara Arimbi terdengar lirih hampir bagai geriap sayap Dara kala menukik. Kedua orang tuanya terkejut. Berhenti menyuap hidangan dan mereka saling terbelit dengan pandangan yang kaku. Ruang seakan membeku ketika seorang ibu itu akhirnya berdiri menjangkau Arimbi.

Dilihatnya wajah Arimbi yang murung. Sebenarnya ia sudah menduga putrinya itu datang karena ada sesuatu yang lain, "Tentu, boleh, tapi kamu bisa cerita apa yang sebenarnya  terjadi," katanya lirih membelai rambut putrinya.

Arimbi ingin sekali bercerita, tapi gemuruh dadanya tak mampu membuatnya kuat menahan airmata. Ia hanya menangis menenggelamkan tubuh dalam peluk ibu. Ayah, yang dari tadi tertegun kini berdiri turut mendekap putrinya yang terus terisak.

“Menangislah, Nak. Kalau memang harus menangis. Sampai kau merasa reda untuk bercerita pada kami." ucapnya dengan mata sedikit berkaca. Ia menoleh ke arah istrinya, isyarat agar membawa Arimbi ke kamar.

Bersambung...

Posting Komentar

9 Komentar

  1. Kisah yang menarik..lanjutkan..!
    Kalau arimbi tidak berterus terang maka akan sulit meraba inti persoalan..
    #go-move-on

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul...betul. hehe

      Makasih sudah mampir dimari.

      Hapus
  2. Permainan perasaan nih....
    jadi penasaran....

    hegheg.... ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tunggu kelanjutannya, pak.

      Makasih pak Nana sudah tampil di kolom komentar ini. hehe

      Hapus
  3. wah, udh di impor ya mbak?
    Follow blog saya mbak, baru bikin.
    Http://wawandebonk.blogspot.com

    BalasHapus
  4. aku berkunjung untuk pertama kalinya di sini setelah blog sebelah mau ....

    BalasHapus
  5. Arimbi asap cinta yang membuat sesak, bagaimana ini?

    aku tunggu kelanjutannya

    BalasHapus