Recents in Beach

Cerbung : Bianglala Masa Lalu (bagian 2)

Bianglala Masa Lalu Bagian 2



Baca juga Bianglala Masa Lalu Bagian 1. Sejenak Vita menarik nafas dan mengambil jeda lamunannya, sekilas ia edarkan pandanganya pada jendela di seberang sana. Masih juga terang, pertanda penghuninya belum beranjak tidur.

"Andika, memang pria yang penuh dedikasi pada pekerjaannya. Bahkan kehidupan pribadinya dikesampingkan dan total dia tenggelamkan dalam karirnya." Vita bergumam dalam hati.

Kalau sudah begitu, Vita jadi merasa sangat bersalah. Ia jadi merasa semakin menimbun hutang budi pada Andika. Sudah hampir 12 tahun Vita setia menyumbangkan kemampuannya yang sebelumnya belum seberapa baik di Jakarta ini. Kemudian tingkat demi tingkat ia lalui dengan berbagai cobaan. Namun baginya semua itu masih bisa dilaluinya tanpa rasa lelah. Meskipun waktu itu Vita harus membagi waktunya dengan study. Setiap 2 tahun sekali, Vita mendapat jatah cuti pulang ke kampung. Namun Vita pun enggan untuk pulang, waktu cutinya dipergunakan untuk kursus berbagai kegiatan yang ia suka.

Sebenarnya waktu itu Vita tidak akan mengambil cuti pada priode ke tiga, tepatnya enam tahun Vita berada di Jakarta, tak ada lagi yang menggerakan hatinya untuk menengok kampung halaman, selain ia nanti hanya akan menimbun luka, karena Ridwan setelah menikahi Yuni pun masih tinggal satu kampung dengan keluarganya.

Hanya saja bundanya bersikeras meminta Vita pulang tanpa mengatakan apapun tentang maksudnya; "Ada sesuatu yang penting," hanya kalimat itu yang keluar setiap kali Vita menanyakannya.

Vita hanya bisa meraba, bahwa hal terpenting bagi ibundanya adalah melihatnya bersanding dengan seorang pria. Keterangan itu Vita dapatkan dari Bowo adiknya.

Vita mengedipkan mata; "Biru! Ya, mereka tak pernah merubah warna kesukaanku, begitu juga dengan dinding kamarku."

Pagi itu membuka matanya, setelah lelah perjalanan semalam. Sesaat memutar mata kesetiap sudut ruangan, Vita sejenak mempelajari dan meyakinkan diri bahwa ia benar-benar sedang berada dalam kamar miliknya. Sejak ia tamat sekolah dasar dulu, saat itu Vita merasa ia tak memiliki otoritas penuh terhadap dirinya sendiri, bersama orang tuanya.

Ketika ia sedang berusaha mengumpulkan kesadaranya, tiba-tiba, pintu kamarnya dibuka tanpa ketukan; "Selamat pagi. Sudah bangun?" Bundanya sudah mendekat ke tempat tidurnya ketika menyapa. Vita hanya menoleh dan tersenyum. Tak mungkin ia mengubah beliau, apalagi memarahinya karena sudah masuk tanpa mengetuk pintu.

"Pagi, Bunda!"

"Cepat mandi sana." kebiasaan bunda menegakan disiplin anak-anaknya dengan menyingkap selimut masih tetap sama.

"Aaah... Bunda!” suara Vita agak meninggi sambil tetap mempertahankan selimutnya. "Aku mau sarapan dulu setelah itu mandi," lanjut Vita.

"Hei... Sejak kapan kamu belum mandi sudah mau sarapan? Jorok kamu," bunda membalas dengan menyingkap selimut lebih lebar lagi.

Namun Vita menahan selimutnya "Aku biasa gitu bunda, kan, kalau sudah mandi, dan nanti setelah sarapan tak gosok gigi banyak kuman yang tertinggal."

Bunda melotot dan bersiap-siap marah. “Ya, sudah!” katanya, tapi tangannya masih kuat mencengeram selimut Vita. "Mandi tanpa gosok gigi, terus sarapan, nanti gosok giginya setelah sarapan."

Vita masih membatah; "Aku nggak biasa, bunda!”

"Ya harus dibiasakan!” paksa bunda.

Vita membantah; "Enggak!” lalu dengan segenap kekuatan ditariknya selimut yang ujungnya ada di tangan bunda sampai beliau terpelating satu langkah kebelakang.

“Aku sudah bukan anak kecil lagi, bunda tidak bisa memaksaku melakukan seperti yang bunda mau.” Vita masih saja ngotot.

Gertakan anak gadis yang pernah meninggalkannya tanpa menunggunya mengiyakan apalagi restu, membuatnya mengingat sakit masa lalu yang menimpa Vita, tapi justru lebih menyakitkan sebagai ibunya.

Bunda beranjak dari sisi tempat tidur, dan berjalan ke arah pintu. Saat bunda meraih handle pintu.

"Bunda!” panggil Vita.

Bunda menoleh, dan menghampiri Vita lagi.

"Aku sayang bunda," bisik Vita hangat, sambil memeluk. Bunda membalas pelukannya. "Mandi, ya?" katanya.

Bundanya sama, tidak pernah berubah, Vita tersenyum geli. Memang benar kasih ibu itu sepanjang jalan. Bagaimanapun tingkah seorang anak telah membuat kebahagiaan dan kebanggaan mereka sebagai seorang wanita. Bunda selalu luas memaafkan.

Memang, kepulangannya kali itu, Vita tidak bertemu dengan laki-laki masa lalunya. Apalagi mereka sudah mempunyai seorang putri berusia 6 tahun, sama dengan lamanya Vita merantau. Tapi entah kenapa Ridwan mengetahui kepulanganya, dan berniat mengundang Vita untuk bertemu, dengan alasan menyambung persahabatan. 

Hmm, perempuan memang aneh, tak terkecuali Vita yang mengiyakan udangan Ridwan.

Begitu mendengar rencana Vita akan menemui pria bernama Ridwan, bundanya langsung memperlihatkan taringnya. Mendengar nama diucapkan di dalam rumah itu saja, darahnya mendidih. Pria rendah, penghianat yang menyakiti anaknya, mencerai-beraikan persahabatan dan keluarga.

“Lagi pula buat apa, kak Vit?” bisik Bowo adiknya.

"Sejak kaka pergi, bunda pernah mengancam tidak akan memaafkan siapapun yang berani mengangkat pembicaraan tentang Ridwan di rumah ini," sambung Bowo.

Vita hanya menggerakkan bahunya. Bunda menuju meja makan dengan membawa telur udang chripsy kesukan Vita. Dengan segera Vita dan Bowo menutup mulut mereka.

“Bunda tetap tidak setuju kalau kamu ketemuan dengan Ridwan,” sergah bunda ketus. “Pria seperti Ridwan tidak akan mungkin berubah, Vita, kamu nantinya hanya akan dijadikan pelampiasan,” kata bunda lagi semakin emosional.

Tapi Vita pun tak mau dikatakan sebagai obyek  pelampiasan; "Bunda kok bicara begitu sih? Aku menemuinya karena dia cuma mengundang sebagai sahabat."

"Haallaah, omong kosong!" seru bunda.

“Dulu dia mengundang Yuni sebagai apa? Sahabatmu, kan? Kamu mau jatuh dalam perangkap yang sama?"

"Emmh... Bunda tenang saja, Vita bukan perempuan bodoh, mana mau aku berbagi pria dengan sahabat sendiri. Lebih baik aku tak menikah sekalian."

"Vita!” Ayahnya yang sedari tadi hanya diam, kini memperingatkan.

“Aku akan tetap menemui Ridwan, sekalian ingin mendengar mengenai Yuni," Vita memutuskan dalam hati, dan setelah yakin tak seorang pun mendebatnya, dia menyelesaikan makan, dan cepat menuju ke kamarnya.

Bersambung ke Bianglala Masa Lalu Bagian 3

Posting Komentar

14 Komentar

  1. haduh Vita gadis keras kepala, dengan keluarga yang penuh kehangatan

    hem .... Kurasa akan terjadi CLBK nih
    wow! makin asik say haha

    kripiknya pedes nih! Lisa nggk suka pedeskan?

    udah tak kasih ke Ridwan aja ya? hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lisa memang nggakj suka pedas, mbak, sukanya yang asem manis. wkwkwk

      Hapus
  2. Cerbung bianglala masa lalu... Mantap

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe. Terima kasih dan senang dapat bertemu lgi disini. hehe

      Hapus
  3. Hmmmm... Vita kok keras kepala banget sih?
    Jangan membantah larangan orang tua lho ya... Nggak baik.
    Ntar kuwalat lhoo... hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasalah kalau vita keras kepala.

      Kualat? ityu dipikir belakangan ae, kang. ckckck

      Hapus
  4. Katanya Vita ini enggan pulang kampung halaman karena ga mau ketemu Ridwan, tapi ternyata dia malah membantah larangan seisi rumahnya utk ketemu mantannya itu. Si Vita ini cari penyakit hati aja...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Vita takj jerah maunya cari penyakit saja. hehe

      Hapus
  5. duh... ketinggalan banyak post...
    temen2 pada misah.. keder juga..
    mangap nih ga nyambung mbak Lisa..

    lg pikir2 dulu....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak apa-apa, Pak, santai saja.

      Pikir-pikir tentang apoa ya, pak? (kepo saya)

      Hapus
  6. Selamat malam Mba Lisa....
    Ikutan nyimak Cerita Bianglala Masa Lalu nya. Sukses terus buat Blognya Ba Lisa. :-)

    BalasHapus
  7. Maaf mbak baru follow blognya. Belum baca yang pertama lagi. Baca yang pertama dulu ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya santai saja follownya, sist, tapi terima kasih dah follow blog ini. Hehe

      Hapus