Recents in Beach

Cerbung : Senandung Do'a Ibu (bagian 2 )


Senandung Do’a Ibu
Penulis Kolaborasi Zetya & Lisa Nel

Baca cerita sebelumnya. 14 hari kemudian. "Wooo!!" Teriakan Tia berbaur dengan teriakan orang-orang yang naik wahana Halilintar. Wahana yang bentuknya seperti kereta cepat namun memiliki jalur rel yang menegangkan dan memacu adrenalin.

"Gila! Seru banget, Pri." Riang Tia.

"Seru 'kan, hehe." Sambar Pria tertawa kecil.

Sementara itu di rumah. Ibu terus menitikan airmata dalam sholatnya. Selalu berdoa dan meminta pada Sang Pencipta agar Tia cepat pulang. Bapak juga menyesali ucapannya. Karena amarah ia begitu. Bapak dan Ibu terus mencari Tia. Tanpa putus asa.


***

"Ini spesial buat kamu." Pria memberikan air jeruk. Tia langsung menghabiskannya tanpa sisa. Tak berapa lama kepalanya terasa amat pusing. Pandangannya nanar. Dan kemudian tiba-tiba menjadi gelap.

"Hahaha! Malam ini adalah malam yang indah bukan, Tia?" Kata Pria tertawa puas. Ia memapah Tia yang tak sadar ke kamarnya. Merebahkannya di atas ranjang.

"Sangat rugi jika wanita bertubuh seindah kamu tidak dinikmati." Ungkap Pria di atas angin.

Gemuruh petir sesekali menyambar dengan kilat yang juga sesekali berkelebat. Dan malam itu menjadi malam yang sangat membahagiakan bagi Pria.

Fajar menyingsing di ufuk timur. Udara luar masih menghembuskan hawa dingin sebab hujan semalam. Embun pagi yang membasahi dedaunan pun tak kunjung meleleh. Hari itu masih dengan mendungnya. Tia terbangun sambil memegangi kepalanya. Ia mendesis kesakitan. Ia keheranan. Mengapa dirinya berada di kamar Pria. Dan ia terkejut ketika sadar tubuhnya tanpa pakaian. Ia coba bergerak dari ranjang. "Aah!" Ia merasakan sakit. Tangannya mencengkram erat perutnya dan mencoba duduk di tepi ranjang.
Blegrr!! Mendung pagi ini menuntun awal hari dengan hujan. Sepertinya sisa semalam yang tak tuntas. "Kamu sudah bangun, sayang?" Mendengar Pria memanggilnya dengan sebutan tak biasa, pikiran Tia langsung berfokus pada dugaannya. Mengenai apa yang  terjadi semalam.

"Apa yang kamu lakukan ke aku!?" Tia membentak dengan tatapan marah.
Pria mendekati Tia. Dengan senyum jahatnya. "Aku cuma sedikit..." Ucap Pria mengerling.

"Bangsat kamu!!" Hardik Tia. Ia melayangkan pukulan namun dapat ditangkap dengan mudah oleh Pria.

"Ztt... ztt... ztt...!!" Pria menempelkan telunjuknya ke bibir Tia. Dan tak melepaskan cengkramannya pada tangan Tia.

"Bukannya kamu menikmatinya juga, sayang?" Kata-kata Pria membuat Tia makin geram.

"Ok, sekarang aku mau ingatkan kamu tentang semalam." Kata Pria memaksa.
Tia tak mampu melawan Pria meski hatinya sangat memberontak. Kekuatan Pria sebagai laki-laki membuatnya tak berdaya untuk melawan. Dan Tia pun pasrah.

---
"Prang!" Piring kesayangan Tia terlepas dari tangan Ibu ketika sedang dicuci. "Apa yang terjadi sama Tia?" Desah Ibu khawatir. Kemudian Ibu duduk di teras rumahnya. Kursi kayu yang sudah usang itu menjadi saksi kekhawatiran Ibu pada anaknya. Bapak yang melihat Ibu duduk termenung lalu menghampiri, dan kemudian duduk disamping Ibu seraya tangannya menepuk lembut bahu Ibu, seakan Bapak pun ikut merasakan apa yang dirasakan istrinya.
---

Tia yang telah jauh meninggalkan rumah Pria, tiba di sebuah jembatan. Di bawah pertemuan siang dan malam itu Tia mematung. Apa yang terjadi padanya tak pernah terbayangkan. Itu di luar logika. Tapi apa boleh buat. Semua sudah terjadi dan tak mungkin bisa kembali. Banjir! Airmatanya membanjiri pipi. Tak ada orang baik lagi di dunia ini. Bagi Tia, sekarang yang ada hanyalah orang-orang bejad yang tak pernah bisa untuk dipercaya.

"Semuanya pembohong!!" Teriaknya.

"Ya! Tidak ada yang bisa kita percaya di dunia ini kecuali beberapa." Sambar seseorang.

Sontak Tia menjauh dari pemilik suara itu. Apalagi dia juga seorang laki-laki tampan seperti Pria. Yang bisa saja sama bajingannya. Atau bahkan lebih busuk lagi. Pikir Tia membabi buta.

"Ekspresi yang bagus." Seloroh laki-laki itu saat melihat Tia menjauhinya.

"Siapa kamu? Kenapa di sini? Maksud kamu apa berbicara sama aku?" Tanya Tia bertubi-tubi.

"Wow! Apa kamu bicara sama aku?"

"Oh Tuhan, kenapa aku bicara sama orang asing?" Gumam Tia.

"Diri kita sendiri, orang tua dan Tuhan." Lanjut laki-laki itu.
Tia terdiam.

"Isteriku, mantan... Aku pikir dia orang yang pantas dipercaya. Tapi pada akhirnya dia tak pernah pantas untuk itu." Laki-laki itu bercerita.

"Dia tak lebih dari pengkhianat yang menusuk jantungku dari belakang. Dia menganggapku sebagai tameng atas semua perilaku buruknya. Hmm, sialan!" Laki-laki itu melanjutkan dengan nada kesal.

"Dia masih muda dan banyak yang menyukainya, ya."

Tia masih terdiam dengan kewaspadaan.

"Orang tuaku, benar tentang semuanya." Laki-laki itu tertunduk. Merasa menyesal tak mendengarkan orang tuanya.

"Dengarlah orang tuamu, jangan sepertiku." Kata-kata laki-laki di hadapannya memberi pukulan keras di dada Tia. Selama ini dirinya tak pernah mendengarkan orang tuannya yang jelas-jelas memperhatikannya dan merawatnya dengan sangat baik. Airmata yang sempat terhenti kini menetes kembali. "Aku sama seperti kamu."

Laki-laki itu mendengarkan. "Sepertinya kita senasib." Ungkap laki-laki itu seraya duduk di tepi jembatan tempatnya berdiri. "Pulanglah. Mereka pasti sangat khawatir."

Dengan sedikit keberanian Tia mengikuti laki-laki itu duduk di tepi jembatan. "Semuanya telah hilang. Harga diri, rasa bersalah, juga uang."

Laki-laki itu merogoh saku celana. Mengambil sejumlah uang dan memberikannya pada Tia. "Pulanglah. Dan buat orang tuamu bangga sama kamu."

Tia memandangi sodoran laki-laki itu cukup lama. Pikirannya masih dipenuhi hal yang membuatnya hancur.

"Terlambat lebih baik ketimbang tidak sama sekali." Laki-laki itu memotivasi.

Obrolan yang tak pernah diduga itu menemani pertemuan siang dan malam hingga akhirnya berpisah. Langit menjadi hitam. Angin makin kencang. Laki-laki itu beranjak. Ia menyodorkan kartu nama pada Tia. "Jika kamu butuh bantuanku, kamu tahu di mana aku berada." Ucapnya meninggalkan Tia. "Dan uang itu, semoga bisa mengantarkanmu pulang." Tambahnya.


***

Hari semakin gelap, Ibu dan Bapak belum juga beranjak dari tempat duduknya. "Kita masuk dulu, Bu." Ucap Bapak perlahan. Namun belum sempat Bapak dan Ibu berdiri, mereka dikejutkan oleh suara langkah kaki yang pelan penuh keraguan menghampiri. Bapak dan Ibu berdiri bersamaan seakan tak percaya apa yang dilihat dihadapannya. Tia putri semata wayangnya yang sekian lama meninggalkan rumah, kini telah pulang. Do'a Ibu siang malam telah dikabulkan-Nya.


***

4 tahun kemudian. Seorang anak kecil bermain dengan suka-cita di taman yang cukup luas. Semua permainan di taman itu lengkap. Dari ayunan hingga perosotan. Anak itu berlari riang menuju seorang laki-laki. Laki-laki itu berjongkok dan mendekap erat anak itu. Wajah mereka sangat gembira.

"Ayah..." Ucap anak kecil itu.

"Ya Amanda sayang?" Jawabnya penuh kelembutan. Laki-laki itu adalah ayah anak bernama Amanda itu. Mereka berdua asyik bermain di taman dan berlari gembira.

"Ini, Mas!" Seorang wanita menyodorkan kartu nama. Di sana tertulis nama Gilang Pratama. Menjabat sebagai Direktur Utama sebuah Perusahaan besar. Dan tertulis alamat lengkap serta nomor telpon kantor.

"Inikan...?" Laki-laki itu menebak.

"Ya, Mas." Sahut wanita itu.

"Itu adalah kartu nama mas yang pernah mas kasih ke kamu di jembatan itu bukan, Tia?"

Wanita itu adalah Tia. Ia mengangguk mengiyakan.

"Ah, kamu masih ingat pertemuan kita di sana? Pertemuan tanpa tujuan itu?" Laki-laki itu tersenyum merekah.

Tia menyambut senyuman laki-laki di hadapannya dengan senyum tak kalah menawan. Ia mendekat dan mendekap laki-laki itu mesra. "Lihat mas, Amanda gembira sekali ya?" mereka memandangi Amanda. Laki-laki itu membalas dekapan Tia penuh cinta.

"Berawal dari tragedi kita masing-masing. Akhirnya Tuhan mempertemukan kita dalam pelaminan." Ungkap laki-laki itu.

"Mas Gilang?" Seru Tia.

"Hmm,"

"I love You?"

"Me too, sayang."

Enam bulan setelah pertemuan itu. Tia mendatangi alamat yang tertera pada kartu nama Gilang. Ia mencoba melamar kerja di sana dengan penuh harapan. Gilang yang masih ingat dengannya memberikan kesempatan untuk Tia. Ia memberikan posisi sekertaris pada Tia. Dan kian lama, mereka saling mengenal. Hingga tumbuhlah benih-benih cinta antar mereka. Pernikahan terlaksana dengan meriah di gedung yang sangat luas. Dekorasi elit dan menu sajian yang banyak serta lezat. Mereka bahagia dalam cinta. Cinta seorang pendamping juga cinta seorang anak.

"Hmm, yang lagi asyik main. Lupa sama nenek ya?"

Amanda menghambur ke arah nenek dengan penuh ceria. Memeluknya dan menciumi pipi yang tampakkan keriput tuanya.

"Kok cuma nenek yang dipeluk? Kakek nggak nih...?" Kakek tak mau kalah.

"Ibu, terima kasih atas do'a dan putih perilakumu. Maafkan aku atas semua yang pernah kulakukan padamu, Ibu." Tia meneteskan airmata. Ibu, kasihmu laksana air jernih yang akan selalu menentramkan waktu. Waktuku yang bergulir di dalam waktumu.

Tamat

Posting Komentar

0 Komentar