Recents in Beach

Halaman Diari Terakhir|CERPEN DARI ARVIND GUPTA

Raka berjalan keluar kelas begitu bel berbunyi pada suatu siang yang panas. Di koridor, murid-murid berlarian, dan beberapa lainnya beradu balap untuk sampai ke gerbang. Namun Raka tak terburu-buru. Siswa-siswa di sekitarnya seperti memperbincangkan sesuatu. Dan ketika mereka mencapai setengah koridor, Raka berbelok untuk membasuh kepalanya dengan air kran. Ia memiliki kebiasaan aneh ini selama bertahun-tahun hingga itu tak terlihat aneh lagi bagi orang yang mengenalnya -- yang tentunya sangat banyak, sebab ia adalah murid populer di sekolah.

Raka tipe anak pemalu dan minder selama bertahun-tahun, setidaknya sampai enam bulan lalu, ketika ia -- pada liburan musim panas -- berubah menjadi sosok yang begitu berbeda.

Setelah menuntaskan ritual basuh kepala, ia bergerak ke temannya untuk bergabung dengan mereka. Seorang gadis yang dari tadi memperhatikannya menggoda Raka.

“Rambutmu keren. Boleh aku sentuh?” kata gadis itu dengan pandangan aneh, tanda ada pengkhianatan terhadap kepolosan pertanyaannya dan tanda bahwa ia menginginkan sesuatu.

“Sentuh saja di mimpimu,” kata Raka sambil berjalan ke segerumbulan kawan. Raka seringkali susah diajak bicara. Ketika Raka tiba di gerumbulan tersebut, mereka semua tertawa dan memberi ledekan wajah kepada sang gadis yang kaku tersipu di sana.

Raka dan teman-temannya pergi keluar gerbang, dan Syela, kekasihnya, menunggunya seperti biasa. Setelah mengucapkan sampai jumpa pada teman-temannya, Raka berjalan melewati Ita, menuju Syela, yang adalah adik kelasnya. Keduanya berjalan bersama ke rumah sementara Ita memandangi mereka bergandengan. Meski Raka dan Syela tidak tinggal dalam satu kompleks, Syela selalu menemani Raka. Mereka berdua memiliki ikatan yang dekat, mungkin karena keduanya punya kesamaan – mereka tak peduli dan tak mau ambil pusing terhadap orang lain, serta perasaannya.

“Ita, ada teman,” teriak ibu Ita.

“Masuk,” kata Ita sambil menata barang pribadinya di tempat yang rahasia– di balik rentetan buku, tempat persembunyian yang tak seorangpun di rumah mengetahui kecuali dirinya.

Saat itu menjelang malam, sedikit mendung, ketika Ita dan Suhartini jalan keluar sebagaimana yang sesekali mereka lakukan. Mereka bersahabat enam tahun.

“Aku kangen Raka,” kata Suhartini, “kangen kebersamaannya dengan kita.”

Ita terdiam. Susah menebak yang ia sedang pikirkan. Ita, Suhartini dan Raka tidak bersama sejak enam bulan lalu.

“Apa kau mau aku meminta Raka untuk datang ke ulang tahunmu?” tanya Suhartini, berharap kalimat itu akan ditanggapi oleh Ita.

Raka dan Ita seolah saling menghindari bicara. Suhartini tahu itu, dan ia bertanya dalam hati apakah aturan “tak berbicara dengan Raka” itu telah menyebabkan masalah bagi Ita, sebab ulang tahun Ita adalah besok. Selama enam tahun berteman, Raka, Suhartini dan Ita tak pernah sekalipun melewatkan ulang tahun.

“Kita lihat saja,” kata Ita singkat.

Selain ritual cuci kepala yang tak lazim, Raka memiliki kebiasaan aneh membuang orang dari kenyataan dirinya dan dari dunianya. Ketika orang tak bisa memenuhi apa yang Raka harapkan, matanya akan menolak keberadaan orang itu dan pikirannya enggan membayangkannya. Ia bisa membuat orang itu secara virtual musnah. Orang itu mungkin ada di sana, tapi bagi Raka, ia tak ada. Orang yang menjadi korban tersebut akan sangat merasakannya, sebagaimana yang dirasakan Ita, namun setelah beberapa saat, Ita menjadi terbiasa dan tak memperdulikannya. Raka dan Ita nyaman dengan mengabaikan satu sama lain. Raka dan Suhartini, di sisi lain, masih berbicara sesekali, meski terkesan seperti orang asing.


“Ita... Ita,” gurunya berteriak.

“Hadir, Pak,” jawab Ita setelah diulang namanya dua kali. Ia tenggelam dalam lamunan masa lalu bersama Raka yang -- tanpa sadar tentang perasaan itu -- sedang bercanda dengan murid lain di belakang sambil memanfaatkan punggung teman untuk berlindung dari panglihatan guru. Raka seorang pebangku belakang. Ia benci duduk di bangku depan. Ke sekolah, ia hanya untuk bersenang-senang, dan memang hanya kesenanganlah yang ia dapatkan. Jika saja itu adalah murid wanita lain yang melamun dan tak dengar panggilan guru, Raka pastilah sudah meledekinya, tapi Ita tidak. Ita tak ada dalam dunianya.

Setelah sekolah selesai, Raka merampungkan lagi ritual wajibnya dan keluar gedung, tapi sebelum ia sempat beranjak untuk ketemu Syela, ia mendengar suara yang ia tak dengar cukup lama.

“Hari ini ulang tahunku,” kata suara itu.

Ia tahu dengan pasti milik siapa suara itu, tapi ia takut untuk sekadar mengakui bahwa itu milik sosok tersebut. Saat ia tolehkan kepala ke belakang, ia melihat Ita dengan mata berbinar. Itu adalah masa menyebalkan yang langka bagi Raka.

“Baiklah,” Raka berkata dengan gemetar.

“Kau datang, kan?” tanya Ita.

“Ya, dia akan datang,” Syela menyela. “Aku juga datang jika kau tak keberatan.” Kata Syela yang rupanya dari tadi di sana.

“Tentu,” kata Ita sambil berlalu sebelum Raka sempat berkata lebih panjang. “Jam 6 malam, di rumahku,” kata Ita dari jauh sambil ia bergabung dengan teman-temannya yang lain.


Hari itu tanggal 17 November, dan badan Raka sebenarnya kurang baik. Mengenakan kaos coklat dengan strip maroon dan celana jins hijau tua, ia tampil rapi tapi sekaligus gerogi. Syela datang ke rumahnya dengan gaun malam warna merah yang anggun. Berdua, mereka menuju rumah Ita untuk pesta ulang tahun.

Mereka masuk rumah dan melihat wajah-wajah yang Raka dulu akrab dengannya. Suhartini menyapa Raka dan memuji bajunya. Mereka berbincang sejenak. Dan dalam waktu singkat, Raka sudah membaur dengan semua orang di ruangan, orang-orang yang dulu Raka pernah dekat. Orang-orang itu dahulu adalah kawan yang tak terpisahkan, dan untuk pertama kali selama enam bulan, mereka merasa nyaman lagi kepada satu sama lain. Beberapa jam lalu, ia memikirkan cara untuk mengatakan tidak pada Ita seandainya saja Syela tidak mengganggu. Tapi sekarang ia merasa bersemangat.

Ia mendatangi Ita dan mengucapkan selamat ulang tahun. Keduanya berdiri di sana, terdiam selama beberapa detik, meski kemudian mereka terpisah karena teman lain mengajak ke tengah. Kini Syela lah yang merasa kesal melihat Raka bersama teman-teman lama sementara ia sendirian, dan tak ada satupun yang ia kenal.

“Aku mau pulang,” kata Syela, memotong percakapan Raka dan teman-temannya.

“Kenapa?” tanya Raka.

“Aku tak enak badan.”

“Oke,” kata Raka tanpa pikir panjang.

“Aku pergi dulu kalau gitu. Kau selamat bersenang-senang,” kata Syela, berkerut dahinya.

“Ya, telpon aku,” kata Raka, “saat kau tiba di rumah.”

Syela tak mengharapkan jawaban itu, dan ini semakin membuatnya kesal. Ia berjalan ke pintu.

Malam itu, Raka menikmati acara pesta, acara yang ia tak pernah bayangkan dan harapkan sebelumnya. Ita juga tampak bergembira. Suhartini mencoba bicara dengan Raka yang asyik bersama teman-teman lamanya, dan Suhartini berkesempatan membawanya ke pojok ruangan dan berkata padanya, “Apa kau benar-benar suka Syela?”

“Apa?”kata Raka penuh kekagetan. “Kenapa kau bertanya begitu?”

Suhartini lanjut bercerita tentang Ita, tentang bagaimana Ita telah menyukai Raka, dan tentang kabar bahwa Ita akan pergi besok untuk pindah bersama keluarganya ke kota lain. Suhartini menceritai Raka tentang semua yang Ita curhatkan hari ini.

Kepada Raka, Suhartini menunjukkan diari yang biasa ditulis Ita. Halaman pertama bertanggal 4 April dan halaman terakhir 16 November. Di sana ia menulis tentang perasaannya dan tentang pengkhianatan yang ia alami saat Raka mengabaikannya. Suhartini ingin Raka bicara dengan Ita karena meski Ita telah mencoba, Ita tak pernah kuasa mengatakan apapun juga. Melihat Suhartini membujuk, Raka tidak gubris permintaan itu dan pergi keluar.

Hujan mulai turun saat Raka tiba di rumah. Ia menuju kamar dan membongkar lemari dan lacinya. Ia mengambil sebuah diari.

Bayang-bayang tentang Ita tadi menerornya. Ia ambil ponsel dan coba telpon Ita, tapi tangannya tidak ijinkan ia melakukan itu. Sambil lesu, ia duduk di mejanya tanpa menggerakkan ototnya sedikitpun, dan ponselnya melekat di tangan, dan diarinya tergeletak di bawah kepala.

Ia setengah tertidur saat ponselnya tiba-tiba berbunyi. Telpon dari Syela. Ia angkat panggilan itu. Syela meminta maaf atas kepergiannya di pesta yang tiba-tiba dan ingin bertemu Raka saat itu juga karena ia merasa kesepian dan bersalah. Pada jam dinding, Raka melihat jarum menunjuk 12 malam. Ia buka jendela dan melihat keluar. Hujan telah reda, dan angin dingin menggantikannya. Ia meletakkan pulpen di diari dan menutupnya, dan menyelinap dari rumahnya untuk menemui Syela di taman kecil di dekat kediaman Syela.

“Sialan,” kata Raka saat hujan turun lagi. Ia memutuskan berteduh di bawah pohon.

Hujan semakin deras dan membasahi buku diari yang Raka lupa telah tinggalkan di meja. Angin membuat lembaran-lembarannya terbuka dan berhenti pada sebuah halaman. Tertulis di situ tanggal 4 April, dan itu adalah terakhir kali ia menulisi diarinya. Bunyinya:

“Hari ini, aku mengatakan pada Ita betapa aku sangat menyayanginya, dan dia bilang dia tidak menganggapku seperti itu. Itu sangat melukai hatiku. Kenapa aku harus jatuh cinta pada orang yang tak memahamiku? Aku berharap aku tak pernah ke sekolah lagi karena aku tak tahu bagaimana aku akan bertingkah di hadapannya dan tak tahu bagaimana ia juga akan bertingkah di hadapanku. Ia menyukai pria lain – pria yang buruk. Pria itu bahkan tak peduli tentang perasaannya. Kenapa aku begini? Aku ingin pergi jauh dari sekolah ini, dari kota ini, dan tinggal di tempat lain yang lebih damai.”

Di samping diari yang tergeletak itu, ponsel berdering. Raka juga lupa telah meninggalkan ponsel di rumah. Itu telpon dari Ita.

Petir bergelegar sangat keras, dan hujan lebat membasahkuyupi halaman diari. Perlahan-lahan, tintanya memudar. Tulisan luntur. Kata demi katanya terhapus. Dan semua yang tertulis kini banjir oleh air dan tak terbaca lagi. Sembari petir menyambar bersahutan, jam dinding berdentang pukul 12 malam dan ponsel berhenti berdering.


“Remaja 17 tahun tersambar petir,” tulis sebuah judul koran.

Copyright oleh Arvind Gupta

Catatan pengarang: Cerita ini murni fiksi namun tokoh-tokoh diambil dari orang-orang di kehidupan nyata. Memang bukan dari satu orang, tapi dari ilham banyak orang. Misalnya saja, saya mendapat inspirasi untuk tokoh Raka dari satu atau dua teman saya, termasuk saya sendiri. Dan saya sengaja menulis cerita sedih karena sudah cukup banyak cerita yang berakhir bahagia.

Saya ingin berterima kasih pada David Khoirul atas terjemahannya dan usulan nama karakternya. Juga, terima kasih banyak pada Lisa Nel atas inspirasinya. Semoga cerita ini tak terlalu buruk dan tak terlalu susah dibaca.

Posting Komentar

0 Komentar